Kereta, setelah meninggalkan Great Salt Lake di Ogden, melaju ke arah utara selama satu jam hingga mencapai Sungai Weber, setelah menempuh hampir sembilan ratus mil dari San Francisco. Dari titik ini kereta mengambil arah ke timur menuju pegunungan bergerigi Wahsatch. Pada bagian yang terbentang antara pegunungan ini dan Pegunungan Rocky[1], para insinyur Amerika menemukan kesulitan yang paling berat dalam membangun jalur rel, sehingga pemerintah memberikan subsidi sebesar empat puluh delapan ribu dolar per mil, alih-alih enam belas ribu dolar yang biasanya diberikan untuk pekerjaan di dataran. Namun para insinyur, alih-alih melawan alam, menghindari kesulitannya dengan membelok mengitari bukit-bukit, bukan menembus bebatuan. Hanya satu terowongan, sepanjang empat belas ribu kaki, yang dibangun untuk mencapai great basin[2].
Rel sampai saat itu telah mencapai titik elevasi tertingginya di Great Salt Lake. Dari titik ini, jalur tersebut membentuk lengkungan panjang, menurun ke arah Lembah Bitter Creek, untuk kemudian naik kembali ke punggung bukit pemisah aliran air antara Atlantik dan Pasifik. Ada banyak sungai kecil di daerah pegunungan ini, dan jalur harus melintasi Muddy Creek, Green Creek, dan lainnya, dengan menggunakan gorong-gorong.
Passepartout menjadi semakin tidak sabar seiring perjalanan, sementara Fix sangat ingin segera keluar dari daerah sulit ini, bahkan lebih cemas dibandingkan Phileas Fogg sendiri untuk berada di luar bahaya keterlambatan maupun kecelakaan, dan menginjakkan kaki di tanah Inggris.
Pada pukul sepuluh malam, kereta berhenti di stasiun Fort Bridger[3], dan dua puluh menit kemudian memasuki Wilayah Wyoming, menyusuri lembah Bitter Creek sepanjang jalan. Keesokan harinya, 7 Desember, mereka berhenti selama seperempat jam di stasiun Green River. Salju turun cukup lebat pada malam itu, tetapi karena bercampur dengan hujan, salju itu setengah mencair, dan tidak menghambat perjalanan mereka. Meski begitu, cuaca buruk tetap membuat Passepartout kesal; karena tumpukan salju yang menutupi roda gerbong pasti akan berakibat fatal bagi perjalanan Tuan Fogg.
“Gagasan macam apa ini!” gumamnya pada dirinya sendiri. “Mengapa majikanku melakukan perjalanan di musim dingin? Bukankah ia bisa menunggu musim yang lebih baik agar peluangnya meningkat?”
Sementara pria Prancis yang setia itu larut dalam kecemasan pada langit yang muram dan suhu yang semakin dingin, Aouda merasakan ketakutan dari sebab yang sama sekali berbeda.
Beberapa penumpang turun di Green River, berjalan hilir mudik di peron; dan di antara mereka Aouda mengenali Kolonel Stamp Proctor, orang yang dengan kasar telah menghina Phileas Fogg dalam pertemuan di San Francisco. Tidak ingin dikenali, perempuan muda itu segera menjauh dari jendela, merasa sangat takut dengan temuannya. Ia terikat pada pria yang, meski dengan dingin, menunjukkan bukti pengabdian mutlak setiap harinya. Ia mungkin tidak memahami kedalaman perasaan yang diberikan pelindungnya, yang ia sebut sebagai rasa syukur, tetapi yang sebenarnya—tanpa ia sadari—adalah sesuatu yang lebih dari itu. Hatinya terasa hancur ketika ia mengenali orang yang suatu hari nanti pasti akan ditantang oleh Tuan Fogg untuk mempertanggungjawabkan kelakuannya. Jelas, hanya kebetulanlah yang membawa Kolonel Proctor ke dalam kereta ini; tetapi di sanalah ia, dan harus sebisa mungkin Phileas Fogg tidak boleh melihat lawannya.
Aouda memanfaatkan saat ketika Tuan Fogg tertidur untuk memberi tahu Fix dan Passepartout tentang siapa yang telah ia lihat. “Proctor itu ada di kereta ini!” seru Fix. “Baiklah, tenanglah, Nyonya; sebelum ia berurusan dengan Tuan Fogg, ia harus berhadapan dengan saya! Menurut saya, justru sayalah yang lebih dihina di antara kami berdua.”
“Proctor itu ada di kereta ini!” seru Fix. “Baiklah, tenanglah, Nyonya; sebelum ia berurusan dengan Tuan Fogg, ia harus berhadapan dengan saya! Menurut saya, justru sayalah yang lebih dihina di antara kami berdua.”
“Dan, selain itu,” tambah Passepartout, “biar saya yang mengurusnya, sekalipun ia seorang kolonel.”
“Tuan Fix,” lanjut Aouda, “Tuan Fogg tidak akan mengizinkan siapapun membalas dendam atas dirinya. Ia berkata bahwa ia akan kembali ke Amerika untuk mencari orang itu. Jika ia melihat Kolonel Proctor, kita tidak akan bisa mencegah pertarungan yang mungkin berakibat mengerikan. Ia tidak boleh melihatnya.”
“Benar, Nyonya,” jawab Fix; “pertemuan di antara mereka bisa menghancurkan segalanya. Baik ia menang maupun kalah, Tuan Fogg pasti akan tertunda, dan—”
“Dan,” tambah Passepartout, “itu akan menguntungkan para anggota Reform Club. Dalam empat hari kita akan tiba di New York. Nah, jika majikan saya tidak meninggalkan gerbong ini selama empat hari itu, kita bisa berharap kebetulan tidak akan mempertemukannya dengan orang Amerika yang menyebalkan itu. Kita harus, sebisa mungkin, mencegah ia keluar.”
Percakapan pun terhenti. Tuan Fogg baru saja terbangun, dan sedang melihat keluar jendela. Tak lama kemudian Passepartout, tanpa terdengar oleh majikannya maupun Aouda, berbisik kepada detektif, “Apakah benar Tuan akan bertarung demi dia?”
“Aku akan melakukan apa saja,” jawab Fix dengan nada yang menunjukkan tekad bulat, “untuk membawanya hidup-hidup kembali ke Eropa!”
Passepartout merasakan sesuatu seperti getaran dingin menyusup ke tubuhnya, tetapi kepercayaannya pada majikannya tetap tak tergoyahkan.
Adakah cara untuk menahan Tuan Fogg tetap di dalam gerbong, agar terhindar dari pertemuan dengan sang kolonel? Seharusnya itu bukanlah tugas yang sulit, karena pria itu pada dasarnya memang gemar duduk diam dan tidak terlalu penasaran. Setidaknya, detektif tampaknya menemukan cara; sebab, setelah beberapa saat, ia berkata kepada Tuan Fogg, “Jam-jam ini terasa panjang dan lambat, Tuan, saat kita melintasi rel kereta.”
“Ya,” jawab Tuan Fogg; “tapi waktu tetap berlalu.”
“Biasanya Tuan bermain whist di kapal uap,” lanjut Fix.
“Ya; tetapi sulit dilakukan di sini. Saya tidak punya kartu maupun rekan bermain.”
“Oh, tapi kita bisa dengan mudah membeli kartu, karena itu dijual di semua kereta Amerika. Dan untuk rekan bermain, jika Nyonya berkenan—”
“Tentu saja, Tuan,” jawab Aouda cepat; “saya mengerti whist. Itu bagian dari pendidikan ala Inggris.”
“Saya sendiri punya sedikit kemampuan untuk memainkan permainan yang baik. Nah, kita ada bertiga, dan satu dummy[4]—”
“Sesuka Anda, Tuan,” jawab Phileas Fogg, dengan gembira karena bisa kembali menikmati permainan kesukaannya bahkan di kereta api.
Passepartout pun segera mencari pelayan, dan tak lama kemudian kembali dengan dua set kartu, beberapa pin, koin kecil, dan sebuah papan yang dilapisi kain.
Permainan pun dimulai. Aouda cukup menguasai whist, bahkan menerima pujian dari Tuan Fogg atas cara mainnya. Sedangkan detektif, ia memang seorang ahli, dan pantas diadu dengan lawan mainnya saat itu.
“Sekarang,” pikir Passepartout, “kita berhasil. Ia tidak akan bergeser dari tempatnya.”
Pukul sebelas pagi, kereta telah mencapai punggung pemisah aliran sungai di Bridger Pass[5], setinggi tujuh ribu lima ratus dua puluh empat kaki di atas permukaan laut, salah satu titik tertinggi yang dicapai jalur rel ketika melintasi Pegunungan Rocky. Setelah menempuh sekitar dua ratus mil, para penumpang akhirnya tiba di salah satu dataran luas yang membentang hingga Samudra Atlantik, dataran yang secara alami sangat cocok untuk pembangunan rel besi itu.
Di lereng cekungan Atlantik, sungai-sungai pertama, cabang dari Sungai North Platte[6], mulai tampak. Seluruh cakrawala utara dan timur dibatasi oleh tirai besar berbentuk setengah lingkaran yang dibentuk oleh bagian selatan Pegunungan Rocky, dengan puncak tertinggi adalah Laramie Peak. Di antara pegunungan itu dan jalur kereta membentang padang luas yang dialiri air dengan cukup berlimpah. Di sebelah kanan menjulang lereng-lereng bawah dari gugusan pegunungan yang memanjang ke selatan hingga mencapai hulu Sungai Arkansas, salah satu anak sungai besar dari Sungai Missouri.
Pada pukul setengah satu, para pelancong sempat melihat sekilas Fort Halleck, benteng yang mengawasi wilayah tersebut; dan hanya dalam beberapa jam kemudian mereka sudah melintasi Pegunungan Rocky. Ada alasan untuk berharap bahwa tak ada kecelakaan yang menandai perjalanan melalui daerah yang sulit ini. Salju telah berhenti turun, udara menjadi segar dan dingin. Burung-burung besar, terkejut oleh suara lokomotif, beterbangan menjauh. Tak ada satwa liar yang muncul di padang itu. Semuanya tampak seperti gurun yang telanjang dalam keluasannya.
Setelah sarapan nyaman yang disajikan di dalam gerbong, Tuan Fogg dan rekan-rekannya baru saja kembali melanjutkan permainan whist, ketika tiba-tiba terdengar siulan keras dan kereta berhenti. Passepartout menengokkan kepalanya keluar pintu, tetapi tidak melihat sesuatu yang bisa menjelaskan keterlambatan itu; tak ada stasiun yang terlihat.
Aouda dan Fix khawatir Tuan Fogg akan memutuskan untuk turun; tetapi pria itu hanya berkata kepada pelayannya, “Lihat apa yang terjadi.”
Passepartout segera berlari keluar dari gerbong. Tiga puluh hingga empat puluh penumpang sudah turun lebih dulu, di antaranya Kolonel Stamp Proctor.
Kereta telah berhenti di depan sebuah sinyal merah yang menghalangi jalannya. Masinis dan kondektur sedang berbicara dengan penuh kegelisahan kepada seorang petugas sinyal yang telah dikirim lebih dulu oleh kepala stasiun di Medicine Bow[7], perhentian berikutnya. Para penumpang mendekat dan ikut serta dalam diskusi, di mana Kolonel Proctor, dengan sikap angkuhnya, terlihat paling menonjol.
Passepartout, yang bergabung dengan kerumunan itu, mendengar petugas sinyal berkata, “Tidak! Kalian tidak bisa lewat. Jembatan di Medicine Bow rapuh, dan tidak akan mampu menahan beban kereta.”
Itu adalah sebuah jembatan gantung yang dibangun melintasi jeram, sekitar satu mil dari tempat mereka sekarang. Menurut petugas sinyal, jembatan itu dalam kondisi rusak parah, beberapa kawat besi sudah putus; dan mustahil mengambil risiko melintasinya. Ia sama sekali tidak melebih-lebihkan kondisi jembatan tersebut. Dapat dipastikan bahwa, meski orang Amerika biasanya berani nekat, bila mereka berhati-hati, pasti ada alasan yang kuat.
Passepartout, tak berani menyampaikan kabar itu kepada majikannya, hanya mendengarkan dengan gigi terkatup rapat, kaku seperti patung.
“Hmm!” seru Kolonel Proctor; “tapi saya rasa kita tidak akan tinggal diam di sini, tertanam di salju?”
“Kolonel,” jawab kondektur, “kami sudah mengirim telegram ke Omaha untuk meminta kereta, tetapi kecil kemungkinan kereta itu bisa mencapai Medicine Bow dalam waktu kurang dari enam jam.”
“Enam jam!” teriak Passepartout.
“Tentu saja,” balas kondektur, “lagipula, untuk berjalan kaki menuju Medicine Bow, waktu yang dibutuhkan juga kurang lebih sama.”
“Tapi jaraknya hanya satu mil dari sini,” sahut salah seorang penumpang.
“Ya, tapi itu berada di sisi lain sungai.”
“Dan tidakkah kita bisa menyeberang dengan perahu?” tanya sang kolonel.
“Itu mustahil. Sungai kecil itu meluap karena hujan. Arusnya deras, dan kita harus memutar sepuluh mil ke utara untuk menemukan tempat dangkal yang bisa diseberangi.”
Kolonel pun melontarkan sumpah serapah, memaki perusahaan kereta api dan sang kondektur; dan Passepartout, yang marah besar, tak segan-segan berpihak kepadanya. Inilah sebuah rintangan yang tidak bisa diatasi meski dengan segepok uang kertas milik tuannya.
Kekecewaan menyebar di antara para penumpang, yang, selain keterlambatan, kini harus berjalan sejauh lima belas mil di atas padang bersalju. Mereka menggerutu dan memprotes, dan tentu akan menarik perhatian Phileas Fogg andai ia tidak begitu larut dalam permainannya.
Passepartout akhirnya menyadari bahwa ia tidak bisa lagi menghindar untuk menyampaikan kabar itu kepada majikannya, dan dengan kepala tertunduk, ia berbalik menuju gerbong, ketika tiba-tiba sang masinis, seorang Yankee sejati bernama Forster, berseru: “Tuan-tuan, mungkin masih ada cara untuk melintasi.”
“Di jembatan?” tanya seorang penumpang.
“Di jembatan.”
“Dengan kereta kita?”
“Dengan kereta kita.”
Passepartout terhenti sejenak, dan dengan penuh rasa ingin tahu mendengarkan sang masinis.
“Tapi jembatan itu tidak aman,” desak kondektur.
“Tidak masalah,” jawab Forster; “saya pikir dengan menjalankan kecepatan setinggi mungkin, kita mungkin punya kesempatan untuk melewatinya.”
“Celaka!” gumam Passepartout.
Namun sejumlah penumpang langsung tertarik dengan usulan masinis itu, dan Kolonel Proctor khususnya tampak sangat gembira, bahkan menganggap rencana itu sangat masuk akal. Ia menceritakan kisah-kisah tentang para masinis yang melompati kereta mereka melewati sungai tanpa jembatan dengan cara menjalankan mesin uap pada tenaga penuh; dan banyak orang yang hadir menyatakan diri sependapat dengan masinis.
“Kita punya lima puluh kesempatan dari seratus untuk berhasil menyeberang,” kata seseorang.
“Delapan puluh! Sembilan puluh!”
Passepartout tertegun, dan meskipun ia siap mencoba apa saja demi bisa menyeberangi Medicine Creek, ia merasa percobaan yang diusulkan itu agak terlalu khas Amerika. “Selain itu,” pikirnya, “ada cara yang jauh lebih sederhana, dan tak seorang pun di sini memikirkannya! Tuan,” katanya lantang kepada salah seorang penumpang, “rencana masinis ini menurut saya agak berbahaya, tetapi—”
“Delapan puluh kesempatan!” jawab penumpang itu sambil membalikkan badan darinya.
“Aku tahu,” kata Passepartout sambil beralih ke penumpang lain, “tapi ada satu ide sederhana—”
“Ide tidak ada gunanya,” jawab orang Amerika itu sambil mengangkat bahu, “karena masinis sudah meyakinkan kita bahwa kita bisa melintas.”
“Memang,” desak Passepartout, “kita bisa melintas, tapi mungkin akan lebih bijaksana—”
“Apa! Bijaksana!” seru Kolonel Proctor, yang tampaknya sangat tersulut dengan kata itu. “Dengan kecepatan penuh, tidakkah kau lihat, dengan kecepatan penuh!”
“Aku tahu—aku lihat,” ulang Passepartout; “tapi itu akan, jika bukan lebih bijaksana, sebab kata itu tidak kau sukai, setidaknya lebih alami—”
“Siapa! Apa! Ada apa dengan orang ini?” seru beberapa orang sekaligus.
Si malang itu tak tahu lagi harus bicara pada siapa.
“Apakah kau takut?” tanya Kolonel Proctor.
“Aku takut? Baiklah; akan kutunjukkan pada orang-orang ini bahwa orang Prancis bisa sama Amerikanya seperti mereka!”
“Naik semua!” seru kondektur.
“Ya, naik semua!” ulang Passepartout, segera. “Tapi mereka tak bisa melarangku berpikir bahwa akan lebih alami bila kita menyeberangi jembatan dengan berjalan kaki, lalu membiarkan kereta lewat setelahnya!”
Namun tak seorang pun mendengar renungan bijaknya itu, dan tak seorang pun mau mengakui kebenarannya. Para penumpang kembali ke tempat duduk mereka di gerbong. Passepartout pun duduk tanpa menceritakan apa yang barusan terjadi. Para pemain kartu masih begitu larut dalam permainan mereka.
Lokomotif bersiul dengan nyaring; sang masinis, dengan membalikkan tenaga uap, memundurkan kereta hampir sejauh satu mil—mundur layaknya seorang pelompat agar dapat mengambil ancang-ancang lebih panjang. Lalu, dengan siulan lain, ia mulai maju; kereta bertambah cepat, dan segera kecepatannya menjadi menakutkan; sebuah pekikan panjang keluar dari lokomotif; piston bergerak naik turun dua puluh kali per detik. Mereka menyadari bahwa seluruh rangkaian kereta, yang melaju dengan kecepatan seratus mil per jam, hampir-hampir tidak lagi menapak pada rel.
Dan mereka berhasil melintas! Itu terjadi secepat kilat. Tak seorang pun melihat jembatan itu. Kereta seolah-olah melompat dari satu tepi ke tepi lainnya, dan masinis baru bisa menghentikannya setelah melaju sejauh lima mil melewati stasiun. Namun hampir bersamaan dengan kereta menyeberangi sungai, jembatan yang sudah rapuh itu hancur berantakan dan jatuh dengan suara gemuruh ke arus deras Medicine Bow.