Kereta berangkat tepat waktu. Di antara para penumpangnya terdapat beberapa perwira militer, pejabat pemerintah, serta pedagang opium dan nila[1], yang sedang melakukan perjalanan bisnis ke pesisir timur India. Passepartout duduk di gerbong yang sama dengan majikannya, dan seorang penumpang ketiga duduk di bangku yang berhadapan langsung dengan mereka. Orang itu adalah Sir Francis Cromarty, salah satu rekan bermain kartu whist Phileas Fogg di kapal Mongolia, yang kini sedang dalam perjalanan menuju pasukannya di kota Benares. Sir Francis adalah pria tinggi, berkulit terang, berusia sekitar lima puluh tahun, dan dikenal karena jasanya dalam pemberontakan Sepoy[2] yang terakhir. Ia telah lama menetap di India, hanya sesekali kembali ke Inggris dalam waktu yang singkat. Ia sangat akrab dengan adat istiadat, sejarah, serta karakter masyarakat India, hampir seperti orang asli negeri itu sendiri. Namun, Phileas Fogg, yang tidak benar-benar sedang menjelajah, melainkan hanya berusaha mengelilingi dunia, sama sekali tidak tertarik mempelajari hal-hal semacam itu. Ia seperti benda padat yang bergerak mengelilingi orbitnya di sekitar bumi, menurut hukum mekanika rasional[3]. Pada saat itu pun, ia sedang menghitung dalam benaknya jumlah jam yang telah berlalu sejak keberangkatannya dari London. Dan seandainya ia bukan orang yang dingin dan hemat ekspresi, mungkin ia sudah menggosok-gosokkan tangannya dengan puas. Sir Francis Cromarty telah memperhatikan keanehan dari teman seperjalanannya ini—meskipun satu-satunya waktu yang ia punya untuk mengamati Fogg adalah saat mereka bermain kartu, di sela-sela dua babak permainan. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah pria itu benar-benar memiliki perasaan layaknya manusia biasa di balik sikapnya yang beku, dan apakah ia bisa merasakan keindahan alam sama seperti orang lain. Brigadir jenderal itu harus mengakui dalam hati bahwa, dari semua orang eksentrik yang pernah ia temui, tidak ada satupun yang dapat disamakan dengan sosok yang dingin dan rasional seperti mesin perhitungan ilmiah ini.
Phileas Fogg tidak menyembunyikan niatnya dari Sir Francis mengenai rencananya untuk mengelilingi dunia, begitu pula latar belakang dari keberangkatannya; dan sang jenderal hanya memandang taruhan itu sebagai bentuk keeksentrikan yang tidak berguna, serta kurangnya akal sehat yang wajar. Menurutnya, jika pria aneh ini terus hidup dengan cara seperti itu, ia akan meninggalkan dunia ini tanpa pernah memberikan manfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Satu jam setelah meninggalkan Bombay, kereta telah melintasi jembatan-jembatan tinggi (viaducts) dan Pulau Salcette, lalu memasuki daerah pedesaan yang terbuka. Di Callyan, mereka mencapai persimpangan jalur cabang yang menuju ke tenggara India melalui Kandallah dan Pounah; dan setelah melewati Pauwell, mereka memasuki ngarai-ngarai sempit di pegunungan, yang memiliki dasar batu basal dan puncaknya dipenuhi hutan lebat dan hijau. Phileas Fogg dan Sir Francis Cromarty hanya sesekali bertukar kata. Kini, ketika percakapan kembali mengalir, Sir Francis berkata, “Beberapa tahun yang lalu, Tuan Fogg, Anda akan mengalami keterlambatan di titik ini yang kemungkinan besar akan membuat Anda kalah taruhan.”
“Maksud Anda bagaimana, Sir Francis?” tanya Fogg.
“Karena jalur kereta api dulu hanya sampai di kaki gunung ini, dan para penumpang harus menyeberanginya dengan tandu atau menaiki kuda poni untuk sampai ke Kandallah di sisi lainnya.”
“Penundaan semacam itu tidak akan mengganggu rencanaku sedikit pun,” jawab Tuan Fogg. “Saya sudah sejak awal memperhitungkan kemungkinan akan munculnya berbagai hambatan.”
“Namun, Tuan Fogg,” lanjut Sir Francis, “Anda menghadapi risiko tersandung masalah karena peristiwa yang dialami pelayan Anda di pagoda itu.” Passepartout, yang saat itu sedang tertidur pulas dengan kakinya nyaman dibungkus selimut perjalanan, sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya sedang dibicarakan.
“Pemerintah bersikap sangat tegas terhadap pelanggaran semacam itu. Mereka benar-benar menjaga agar kebiasaan keagamaan masyarakat India dihormati. Dan jika pelayan Anda tertangkap—”
“Baiklah, Sir Francis,” sahut Tuan Fogg dengan tenang, “Kalau dia memang tertangkap, dia akan dijatuhi hukuman dan dihukum, lalu dengan tenang akan kembali ke Eropa. Saya tidak melihat bagaimana urusan ini bisa menghambat tuannya.”
Percakapan pun kembali terhenti. Sepanjang malam, kereta api meninggalkan wilayah pegunungan dan melewati Nassik, lalu keesokan harinya melaju di atas dataran subur dan rata di wilayah Khandeish. Wilayah ini dipenuhi desa-desa kecil yang tersebar, dengan menara-menara tinggi pagoda menjulang di atasnya. Daerah yang subur ini dialiri oleh banyak sungai kecil dan aliran jernih, yang sebagian besar merupakan anak sungai dari Sungai Godavery.
Passepartout, saat terbangun dan melihat ke luar jendela, hampir tak percaya bahwa dirinya benar-benar sedang melintasi India dengan kereta api. Lokomotifnya, dikendalikan oleh insinyur asal Inggris dan menggunakan batu bara Inggris, mengepulkan asapnya melewati perkebunan kapas, kopi, pala, cengkeh, dan lada. Sementara itu, uap kereta melingkar-lingkar seperti spiral di antara kelompok pohon kelapa, dan di tengah-tengahnya tampak bangunan-bangunan indah seperti bungalow, vihara (semacam bekas biara yang telah ditinggalkan), dan kuil-kuil megah yang dihiasi ornamen arsitektur India yang nyaris tak ada habisnya. Kemudian mereka sampai di hamparan luas yang terbentang hingga ke cakrawala, penuh dengan hutan belantara tempat tinggal ular dan harimau yang segera kabur begitu mendengar suara bising dari kereta api. Hutan-hutan berikutnya telah ditembus oleh rel kereta, namun masih dihuni oleh gajah-gajah yang menatap kereta dengan mata sendu saat melintas. Para penumpang melewati, setelah Milligaum, sebuah daerah mematikan yang dahulu sering dibasahi darah oleh para pemuja fanatik Dewi Kali[4]. Tak jauh dari sana berdiri Ellora, dengan pagodanya yang anggun, serta kota terkenal Aurungabad, bekas ibu kota penguasa kejam Aureng-Zeb[5], yang kini menjadi kota utama di salah satu provinsi bawahan kerajaan Nizam[6]. Di sekitar wilayah itu pula, Feringhea, pemimpin sekte Thuggee[7]—yang dikenal sebagai raja para algojo dengan cara mencekik—menjalankan kekuasaannya. Kelompok brutal ini, yang terikat oleh ikatan rahasia, biasa mencekik korbannya dari segala usia tanpa menumpahkan darah, demi menghormati Dewi Kematian. Pada suatu masa, daerah ini hampir tidak dapat dilalui tanpa menemukan mayat di mana-mana. Pemerintah Inggris akhirnya berhasil secara signifikan mengurangi kasus pembunuhan ini, meskipun sekte Thuggee masih tetap ada, dan terus menjalankan ritual mengerikan mereka.
Pada pukul setengah satu siang, kereta berhenti di Burhampoor, tempat di mana Passepartout sempat membeli sepasang sandal khas India yang dihiasi dengan mutiara palsu. Dengan rasa bangga yang jelas terlihat, ia segera mengenakan sandal itu di kakinya. Para penumpang hanya sempat sarapan sebentar sebelum kembali berangkat menuju Assurghur, setelah sebentar menyusuri tepi Sungai Tapty yang bermuara ke Teluk Cambray, dekat kota Surat.
Passepartout kini tenggelam dalam lamunan yang menyita perhatian. Sampai saat kedatangannya di Bombay, ia masih menyimpan harapan bahwa perjalanan mereka akan berakhir di sana. Namun, ketika jelas terlihat bahwa mereka kini melaju dengan kecepatan tinggi melintasi India, semangat dan bayangan mimpinya pun berubah total. Sifat pengelana lamanya muncul kembali; gagasan-gagasan aneh masa mudanya kembali menguasai pikirannya. Ia mulai menganggap bahwa rencana tuannya adalah sesuatu yang sungguh-sungguh. Ia percaya pada realitas taruhan tersebut—dan karena itu, pada perjalanan keliling dunia yang harus diselesaikan tanpa gagal dalam waktu yang telah ditentukan. Ia bahkan mulai merasa cemas terhadap kemungkinan keterlambatan atau kecelakaan yang bisa saja terjadi selama perjalanan. Ia merasa dirinya kini punya kepentingan pribadi dalam taruhan itu, dan gemetar memikirkan bahwa ia mungkin telah menjadi penyebab kekalahan hanya karena kebodohannya yang tak termaafkan pada malam sebelumnya. Berbeda dengan Tuan Fogg yang selalu tenang dan rasional, Passepartout jauh lebih gelisah, menghitung dan menghitung ulang hari-hari yang telah berlalu, melontarkan umpatan ketika kereta berhenti, menyalahkan kereta yang ia anggap terlalu lamban, dan dalam hati menuduh Tuan Fogg karena tidak menyuap masinis kereta. Padahal, lelaki yang baik hati ini tidak tahu bahwa meskipun kapal uap bisa dipercepat dengan suap atau insentif, hal itu tidak berlaku di jalur kereta api.
Kereta mulai memasuki ngarai-ngarai sempit di Pegunungan Sutpour—yang memisahkan wilayah Khandeish dan Bundelcund—menjelang sore hari. Keesokan harinya, Sir Francis Cromarty bertanya kepada Passepartout pukul berapa waktu saat itu; dan setelah melihat jam tangannya, Passepartout menjawab bahwa sekarang pukul tiga pagi. Namun, jam tangan terkenal miliknya itu—yang selalu disetel berdasarkan meridian Greenwich[8]—kini berada sekitar 77 derajat lebih ke arah barat, sehingga waktu yang ditunjukkan setidaknya terlambat empat jam. Sir Francis pun membetulkan waktu yang dikatakan oleh Passepartout. Lalu Passepartout memberikan komentar yang sama seperti yang sebelumnya ia ucapkan kepada Fix. Ketika sang jenderal bersikeras bahwa jam harus disesuaikan dengan tiap meridian baru—karena perjalanan mereka terus menuju ke timur, atau dengan kata lain, mengarah ke matahari—dan oleh sebab itu panjang hari menjadi lebih pendek sekitar empat menit untuk setiap derajat yang dilalui, Passepartout tetap bersikeras untuk tidak mengubah jam tangannya, dan terus mempertahankannya sesuai waktu London. Ini adalah keyakinan polos yang tidak merugikan siapapun.
Kereta berhenti pada pukul delapan pagi, di tengah-tengah sebuah padang terbuka sekitar lima belas mil melewati Rothal, di mana terlihat beberapa bungalow dan pondok pekerja. Kondektur yang lewat di sepanjang gerbong berteriak, “Penumpang turun di sini!”
Phileas Fogg memandang Sir Francis Cromarty untuk meminta penjelasan; tetapi sang jenderal sendiri tidak tahu mengapa kereta harus berhenti di tengah hutan yang dipenuhi pohon kurma dan akasia ini.
Passepartout, yang juga tak kalah terkejut, segera berlari keluar dan kembali dengan cepat sambil berteriak, Tuan, rel keretanya sudah tidak ada lagi!”
“Apa maksudmu?” tanya Sir Francis.
“Maksud saya, keretanya tidak akan melanjutkan perjalanan.”
Jenderal itu langsung turun dari gerbong, sementara Phileas Fogg dengan tenang mengikutinya, dan mereka bersama-sama menghampiri kondektur.
“Kita sedang berada di mana?” tanya Sir Francis.
“Di dusun kecil bernama Kholby,” jawab kondektur.
“Kita berhenti di sini?”
“Tentu saja. Jalur keretanya belum selesai.”
“Apa! Belum selesai?”
“Betul. Masih ada sekitar lima puluh mil lagi yang belum dibangun sampai ke Allahabad, tempat jalur relnya kembali tersambung.”
“Tapi koran-koran mengumumkan bahwa jalur kereta ini sudah dibuka sepenuhnya!”
“Apa boleh buat, Tuan? Koran-koran itu salah,” jawab kondektur santai.
“Tapi kalian menjual tiket dari Bombay sampai Calcutta!” bantah Sir Francis, yang mulai terlihat kesal.
“Itu benar,” balas kondektur. “Namun penumpang sudah tahu bahwa mereka harus mengatur sendiri transportasi dari Kholby ke Allahabad.”
Sir Francis sangat marah. Passepartout bahkan ingin sekali memukul kondektur itu, tapi ia tidak berani menatap tuannya.
“Sir Francis,” kata Tuan Fogg dengan tenang, “mari kita cari cara lain untuk melanjutkan perjalanan menuju Allahabad.”
“Tuan Fogg, ini jelas penundaan yang sangat merugikan Anda.”
“Tidak, Sir Francis; hal ini sudah saya perhitungkan sebelumnya.”
“Apa! Anda tahu bahwa jalannya—”
“Sama sekali tidak; tetapi saya sudah mengantisipasi bahwa cepat atau lambat pasti akan ada hambatan dalam perjalanan saya. Jadi tidak ada yang benar-benar hilang. Saya masih punya dua hari cadangan yang telah saya kumpulkan sebelumnya. Sebuah kapal uap akan berangkat dari Calcutta menuju Hong Kong pada tengah hari tanggal 25. Hari ini tanggal 22, dan kita masih punya cukup waktu untuk sampai ke Calcutta.”
Tak ada yang bisa dikatakan untuk membantah jawaban yang disampaikan dengan penuh keyakinan itu.
Memang benar bahwa jalur kereta berakhir di titik ini. Pemberitaan di koran, seperti halnya beberapa jam tangan yang terkadang terlalu cepat menunjukkan waktu, telah terburu-buru dalam mengumumkan bahwa jalur tersebut sudah rampung dibangun. Sebagian besar penumpang sebenarnya sudah mengetahui adanya pemutusan jalur ini, dan mereka pun turun dari kereta untuk mencari kendaraan apa pun yang bisa disediakan oleh desa itu—mulai dari palkighari[9] beroda empat, gerobak yang ditarik oleh sapi zebu[10], kereta yang bentuknya menyerupai pagoda berjalan, tandu, kuda poni, dan berbagai alat transportasi lainnya.
Tuan Fogg dan Sir Francis Cromarty, setelah menjelajahi seluruh desa dari ujung ke ujung, kembali tanpa menemukan apa pun.
“Aku akan berjalan kaki saja,” kata Phileas Fogg.
Passepartout, yang saat itu sudah bergabung kembali dengan tuannya, menyeringai pahit, mengingat sepatu India mewahnya yang ternyata terlalu rapuh untuk digunakan berjalan jauh. Untungnya, ia pun sudah sempat mencari-cari di sekitar, dan setelah ragu sejenak, ia berkata, “Monsieur, saya rasa saya menemukan alat transportasi yang bisa kita gunakan.”
“Apa itu?”
“Sebuah gajah! Seekor gajah milik seorang warga India yang tinggal hanya seratus langkah dari sini.”
“Mari kita lihat gajahnya,” jawab Tuan Fogg.
Mereka segera tiba di sebuah gubuk kecil, di dekat mana—dalam sebuah kandang berpagar tinggi—terdapat hewan yang dimaksud. Seorang pria India keluar dari gubuk itu dan, atas permintaan mereka, membimbing mereka masuk ke dalam kandang tersebut. Gajah itu, yang dibesarkan oleh pemiliknya bukan untuk mengangkut beban, melainkan untuk tujuan perang, hanya setengah jinak. Si pemilik telah mulai melatihnya menjadi garang dengan cara sering menyulut emosinya dan memberinya makan gula dan mentega setiap tiga bulan sekali—metode yang umum digunakan untuk melatih gajah India agar siap tempur. Untungnya bagi Tuan Fogg, pelatihan ini belum berjalan jauh, sehingga gajah itu masih mempertahankan sifat alaminya yang lembut. Kiouni—begitulah nama si gajah—diyakini mampu menempuh perjalanan jauh dengan cepat. Karena tak ada pilihan alat transportasi lain, Tuan Fogg pun memutuskan untuk menyewanya. Namun gajah bukanlah hewan murah di India, terutama karena populasinya mulai langka. Gajah jantan, yang paling cocok untuk pertunjukan sirkus atau tugas berat, sangat diminati, apalagi karena hanya sedikit yang berhasil dijinakkan. Maka, ketika Tuan Fogg menawarkan kepada pemilik gajah untuk menyewa Kiouni, si pemilik menolak secara langsung. Tuan Fogg tetap ngotot, menawarkan bayaran tinggi sebesar sepuluh poundsterling per jam untuk meminjam si gajah hingga ke Allahabad. Ditolak. Dua puluh pound? Juga ditolak. Empat puluh pound? Masih ditolak. Passepartout terlonjak setiap kali tawaran dinaikkan; namun pria India itu tetap tak tergoda. Padahal, tawaran itu sebenarnya sangat menarik—karena jika perjalanan ke Allahabad membutuhkan waktu lima belas jam, sang pemilik akan menerima tak kurang dari enam ratus poundsterling.
Phileas Fogg, tanpa sedikit pun terlihat panik, kemudian mengusulkan untuk membeli gajah itu secara langsung, dan awalnya menawarkan seribu poundsterling. Namun pria India itu, mungkin karena merasa akan mendapat untung besar, tetap menolak.
Sir Francis Cromarty menarik Tuan Fogg ke samping dan memintanya untuk mempertimbangkan kembali sebelum melangkah lebih jauh. Tuan Fogg menjawab bahwa dia bukan orang yang terbiasa bertindak gegabah; bahwa ia sedang mempertaruhkan taruhan senilai dua puluh ribu poundsterling; bahwa gajah itu sangat penting baginya; dan bahwa ia akan tetap mendapatkannya walau harus membayar dua puluh kali lipat dari harga wajarnya. Kemudian ia kembali menemui pria India itu, yang sepasang matanya yang kecil dan tajam, bersinar karena keserakahan, menunjukkan bahwa masalahnya bukan soal menjual atau tidak menjual, tetapi berapa besar uang yang bisa dia dapatkan. Tuan Fogg lalu menaikkan tawarannya: pertama seribu dua ratus, lalu seribu lima ratus, seribu delapan ratus, hingga dua ribu poundsterling. Passepartout, yang biasanya berwajah merah segar, kini tampak pucat karena tegang menunggu keputusan.
Pada tawaran dua ribu poundsterling, akhirnya pria India itu menyerah.
“Astaga, harganya luar biasa!” seru Passepartout, “untuk seekor gajah!”
Sekarang tinggal satu hal lagi yang perlu dilakukan: mencari pemandu, yang ternyata relatif mudah. Seorang pemuda Parsi dengan wajah yang cerdas menawarkan jasanya, dan Tuan Fogg menerimanya, dengan janji imbalan yang begitu besar hingga benar-benar menyemangati si pemuda. Gajah itu pun dikeluarkan dan dipersiapkan. Si pemuda Parsi, yang merupakan pengemudi gajah terlatih, menutupi punggung gajah dengan semacam kain pelana, lalu memasang di sisi kanan dan kirinya dua buah howdah yang bentuknya aneh dan tampak tidak nyaman. Phileas Fogg membayar pria India pemilik gajah itu dengan beberapa lembar uang kertas yang diambil dari tas karpetnya yang terkenal, suatu tindakan yang membuat Passepartout seakan-akan seperti kehilangan jantungnya (ungkapan yang menggambarkan keterkejutan dan kekhawatirannya karena uang sebanyak itu digunakan). Lalu Fogg menawarkan tumpangan kepada Sir Francis menuju Allahabad, yang diterima dengan hangat oleh sang brigadir, karena satu orang penumpang tambahan tidak akan terlalu membebani gajah raksasa itu. Perbekalan pun dibeli di Kholby, dan saat Sir Francis dan Tuan Fogg duduk di dalam howdah di kedua sisi gajah, Passepartout duduk mengangkang di atas kain pelana di antara mereka. Pemuda Parsi itu duduk bertengger di leher gajah, dan pukul sembilan pagi mereka berangkat dari desa, menyusuri hutan lebat yang dipenuhi pohon palem, lewat jalan pintas.