Keliling Dunia dalam Delapan Puluh Hari
Jules Verne
Terjemahan Bahasa Indonesia dari Novel Klasik
Around the World in Eighty Days by Jules Verne
BAB II
DI MANA PASSEPARTOUT YAKIN BAHWA AKHIRNYA IA TELAH MENEMUKAN TUAN IDEALNYA

“Demi Tuhan,” gumam Passepartout, agak gugup, “aku pernah melihat orang-orang di Madame Tussaud[1] yang lebih hidup daripada tuan baruku!”

Perlu dikatakan bahwa “orang-orang” di Madame Tussaud itu terbuat dari lilin, dan sangat populer dikunjungi di London; hanya suara yang kurang agar mereka tampak sepenuhnya seperti manusia.

Selama pertemuannya yang singkat dengan Tuan Fogg, Passepartout telah mengamatinya dengan saksama. Ia tampak sebagai pria berusia sekitar empat puluh tahun, dengan fitur wajah yang tampan dan tubuh tinggi yang proporsional; rambut dan cambangnya berwarna terang, dahinya lebar dan tanpa kerutan, wajahnya agak pucat, dan giginya luar biasa indah. Raut wajahnya, dalam tingkat tertinggi, memiliki apa yang disebut para ahli fisiognomi[2] sebagai “ketenangan dalam tindakan”—sebuah kualitas dari mereka yang lebih suka bertindak daripada bicara. Tenang dan dingin, dengan sorot mata yang jernih, Tuan Fogg tampak seperti perwujudan sempurna dari ketenangan khas Inggris, yang begitu terampil digambarkan di atas kanvas oleh Angelica Kauffmann[3]. Bila dilihat dalam berbagai fase kehidupan hariannya, ia memberikan kesan sebagai sosok yang benar-benar seimbang, seolah diatur dengan presisi seperti kronometer buatan Leroy[4]. Phileas Fogg, memang, adalah personifikasi dari ketepatan—dan hal itu tercermin bahkan dalam ekspresi tangan dan kakinya; sebab pada manusia, seperti halnya pada hewan, anggota tubuh pun bisa mengungkapkan emosi.

Ia begitu tepat waktu hingga tak pernah terburu-buru, selalu siap, dan hemat—baik dalam langkah-langkahnya maupun gerakannya. Ia tak pernah melangkah lebih dari yang diperlukan, dan selalu menuju tujuannya lewat jalan tercepat; ia tak pernah membuat gerakan yang sia-sia, dan tak pernah terlihat gelisah atau terguncang. Ia adalah orang paling tenang dan penuh pertimbangan di dunia, namun selalu tiba di tempat tujuan pada waktu yang tepat.

Phileas Fogg hidup sendirian, dan, boleh dikatakan, di luar dari segala hubungan sosial; dan karena ia tahu bahwa dalam dunia ini segala sesuatu harus diperhitungkan dengan gesekan, dan bahwa gesekan memperlambat laju, maka ia pun tidak pernah "bersentuhan" dengan siapa pun.

Adapun Passepartout, ia adalah seorang Paris sejati dari kota Paris. Sejak ia meninggalkan negerinya dan bekerja di Inggris sebagai pelayan pribadi, ia terus mencari tuan yang benar-benar sesuai dengan harapannya—namun sia-sia. Passepartout sama sekali bukan tipe pelayan bodoh dan sok tahu seperti yang sering digambarkan oleh Molière[5], dengan tatapan sombong dan hidung yang menjulang tinggi; ia adalah orang yang jujur, berwajah ramah, bibirnya agak mencuat, bertingkah laku lembut dan suka membantu, serta memiliki bentuk kepala yang bulat dan menyenangkan—jenis kepala yang ingin kita lihat di pundak seorang sahabat. Matanya berwarna biru, kulitnya kemerahan, tubuhnya agak gemuk dan berotot, dan kekuatan fisiknya terbentuk dengan baik berkat latihan-latihan masa mudanya. Rambutnya yang cokelat agak berantakan; sebab, meskipun para pematung Yunani kuno konon mengetahui delapan belas cara untuk menyusun rambut dewi Minerva[6], Passepartout hanya mengenal satu cara menata rambutnya: tiga kali sisiran dengan sisir bergigi jarang, dan selesai sudah dandanan paginya.

Akan terlalu gegabah jika memprediksi bagaimana sifat Passepartout yang hidup dan penuh semangat itu akan cocok dengan Tuan Fogg. Tidak mungkin ditebak apakah pelayan baru ini akan bisa menjadi setertib dan seteratur seperti yang diharapkan tuannya; hanya pengalamanlah yang bisa menjawabnya. Passepartout pada masa mudanya adalah seorang yang cenderung berkelana tanpa arah, dan kini sangat mendambakan ketenangan hidup; namun sejauh ini ia belum menemukannya, meskipun sudah bekerja di sepuluh rumah tangga Inggris. Tapi di tiap-tiap rumah itu, ia tak pernah bisa menetap lama; dengan rasa kecewa, ia mendapati para majikannya selalu aneh dan tidak teratur, sering bepergian keliling negeri, atau justru sibuk mencari-cari petualangan. Majikan terakhirnya, seorang bangsawan muda bernama Lord Longferry, yang juga anggota parlemen, sering kali pulang ke rumah di pagi hari dalam keadaan mabuk, bahkan diantar pulang oleh polisi setelah semalam suntuk menghabiskan waktu di kedai-kedai kawasan Haymarket[7]. Passepartout, yang ingin tetap menghormati majikannya, memberanikan diri menegur secara halus atas perilaku tersebut; namun teguran itu tidak diterima dengan baik, sehingga ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Ketika mendengar bahwa Tuan Phileas Fogg sedang mencari pelayan, dan bahwa hidupnya dikenal sangat teratur, tidak suka bepergian, dan bahkan tidak pernah menginap di luar rumah, ia merasa yakin bahwa inilah tempat yang ia cari. Ia pun datang melamar, dan diterima—sebagaimana telah kita lihat sebelumnya.

Pada pukul setengah dua belas, Passepartout pun mendapati dirinya sendirian di rumah di Saville Row. Ia segera memulai inspeksi tanpa menunda-nunda, menjelajahi seluruh bagian rumah dari ruang bawah tanah hingga loteng. Rumah itu begitu bersih, tertata rapi, dan terasa khidmat—membuatnya sangat puas; baginya, rumah itu bagaikan cangkang siput yang diterangi dan dihangatkan oleh gas, yang cukup untuk memenuhi kedua kebutuhan itu. Saat sampai di lantai dua, Passepartout langsung mengenali kamar yang akan menjadi tempat tinggalnya, dan ia merasa amat senang dengannya. Bel listrik dan tabung suara menghubungkan kamar itu dengan lantai-lantai bawah; sementara di atas perapian berdiri sebuah jam listrik, persis seperti yang ada di kamar tidur Tuan Fogg—keduanya berdetak pada detik yang sama, secara serempak. “Bagus. Ini cocok,” gumam Passepartout kepada dirinya sendiri.

Tiba-tiba ia melihat, tergantung di atas jam, sebuah kartu yang setelah diperiksa, ternyata merupakan jadwal rutinitas harian rumah tersebut. Jadwal itu mencakup semua yang diharapkan dari seorang pelayan, mulai pukul delapan pagi—tepat pada jam itulah Phileas Fogg bangun—hingga pukul setengah dua belas siang, saat ia meninggalkan rumah menuju Reform Club. Semua rincian pelayanan tercantum: teh dan roti panggang pada pukul delapan lewat dua puluh tiga menit, air untuk bercukur pada pukul sembilan lewat tiga puluh tujuh menit, dan persiapan toilet pada pukul sepuluh kurang dua puluh menit. Segala sesuatu telah diatur dan diperkirakan dengan cermat mengenai apa saja yang harus dilakukan sejak pukul setengah dua belas siang hingga tengah malam, waktu ketika sang pria yang penuh keteraturan itu tidur.

Lemari pakaian Tuan Fogg terisi dengan sangat lengkap dan dalam selera terbaik. Setiap pasang celana panjang, mantel, dan rompi diberi nomor, menunjukkan waktu dalam setahun dan musim saat pakaian itu harus dikenakan secara bergiliran; dan sistem yang sama diterapkan pada sepatu sang majikan. Singkatnya, rumah di Saville Row, yang dulunya pasti merupakan semacam kuil bagi kekacauan dan kegelisahan di bawah kepemilikan Sheridan yang termasyhur namun boros, kini menjelma menjadi tempat yang mewujudkan kehangatan, kenyamanan, dan keteraturan yang ideal. Tak ada ruang kerja, pun tak ada buku, yang tentu saja akan menjadi benda tak berguna bagi Tuan Fogg; sebab di Reform Club tersedia dua perpustakaan baginya: satu berisi literatur umum dan satunya lagi mengenai hukum serta politik. Sebuah brankas berukuran sedang berdiri di kamar tidurnya, dirancang agar tahan terhadap api maupun pencuri; namun Passepartout tidak menemukan senjata atau alat berburu di mana pun; segala sesuatunya memperlihatkan kebiasaan hidup yang sangat tenang dan cinta damai.

Setelah meneliti rumah dari atas sampai bawah, ia menggosok-gosokkan tangannya, sebuah senyum lebar merekah di wajahnya, dan ia berkata dengan gembira, “Inilah yang aku cari! Ah, aku dan Tuan Fogg pasti akan akur! Betapa seorang pria yang bersahaja dan teratur! Benar-benar seperti mesin; yah, aku tidak keberatan melayani sebuah mesin.”


[1] Museum patung lilin terkenal di London, berisi tokoh-tokoh sejarah, selebriti, dan tokoh dunia yang dibuat sangat mirip dengan aslinya.
[2] Ilmu semu pada abad ke-19 yang percaya bahwa karakter atau kepribadian seseorang bisa dibaca dari fitur wajah dan tubuhnya.
[3] Pelukis wanita terkenal asal Swiss-Austria yang bekerja di Inggris pada abad ke-18, dikenal karena karyanya yang menggambarkan ekspresi dan emosi dengan halus.
[4] Jam presisi tinggi buatan Leroy, produsen jam mewah Prancis pada abad ke-19—simbol ketepatan dan keteraturan.
[5] Seorang dramawan Prancis terkenal pada abad ke-17 yang kerap menertawakan tingkah laku para pelayan sok pintar atau sombong dalam lakon komedi satirnya seperti Tartuffe dan The Bourgeois Gentleman.
[6] Dewi kebijaksanaan dalam mitologi Romawi (dikenal sebagai Athena dalam mitologi Yunani). Minerva sering digambarkan dengan tatanan rambut yang rumit dalam patung-patung klasik.
[7] Kawasan hiburan di London yang pada abad ke-19 dikenal karena teater dan kehidupan malamnya—terkadang diasosiasikan dengan minum-minum dan hiburan malam.